Rabu, 12 Oktober 2011

Perjalanan Panjang Bangsa Kita

The longest journey is the journey inward. Perjalanan yang terpanjang dan paling melelahkan adalah perjalan mawas diri. Berlaku untuk setiap orang maupun setiap bangsa. Dan bila kita meninggalkannya kita akan kehilangan masa depan. Dalam arti masa depan bukan lagi serba harapan; melainkan serba kemungkinan, serba tidak menentu.
Dalam perjalanan antara Denpasar dan Tampaksiring kedua tokoh itu duduk dalam mobil Indonesia-1. Dibelakang duduk Bung Karno sebelah kanan dan Kruschev di sebelah kiri, di depan duduk pengemudi di sebelah kanan, seorang juru bahasa merangkap pengawal Uni Sovyet di tengah, Bambang Widjanarko, ajudan, di sebelah kiri.
Jalan berliku-liku dan terus menanjak melalui sawah-sawah dan desa-desa. Rupanya Kruschev memperhatikan rumah-rumah rakyat yang berada tidak jauh di tepi jalan, ia berkata:
“Bung Karno, Anda tersohor di seluruh dunia sebagai seorang pemimpin yang revolusioner dan selalu memperhatikan dan mendahulukan kepentingan serta kesejahteraan rakyat, tetapi mengapa Anda membiarkan rakyat hidup miskin menderita di rumah-rumah kecil terbuat dari tanah seperti itu?” Sambil berkata begitu ia menunjuk ke perkampungan rakyat yang dilewati mobil.
Dengan tersenyum Bung Karno menjawab: “Kamerad Kruschev, kita berdua sama-sama revolusioner. Tetapi dalam mengartikan kesejah-teraan bagi rakyat mungkin kita berbeda pendapat.”
“Bagi kami, kesejahteraan itu bukan soal materi atau lahiriah saja. Memberi rumah gedung saja kepada rakyat belum berarti sudah cukup mensejahterakan rakyat. Sejahtera bagi kami meliputi lahir dan batin. Rakyat di sini sangat kuat dalam kepercayaan agama dan adat-istiadat. Hidup bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, itu berarti pula kami sangat menghormati agama dan adat. Dengan agama dan adat mereka, rakyat di sini merasa bahagia, sebagian kesejahteraan batin mereka peroleh. Ini penting, dan kami harus melestarikannya.”
“Sedangkan rumah yang kecil atau terbuat dari tanah, itu soal kedua. Dengan perlahan dan bertahap kami terus berusaha meningkatkan kesejahteraan lahiriah itu, tetapi jangan sampai kebahagiaan rakyat yang dipunyainya itu menjadi rusak karena kemajuan materi.”
“Kamerad Kruschev jangan lupa, Republik Indonesia baru berumur 17 tahun dan selama ini kami pusatkan segala daya dan usaha terutama untuk penggalangan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.” Demikian Bung Karno memberi penjelasan.
Tampaknya beliau memahami benar apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci:
“Dan carilah (terlebih dahulu) dengan apa yang telah Aku anugerahkan kepadamu negeri akhirat. Dan jangan kamu melupakan bahagianmu (kemakmuran) di dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.”
“Barangsiapa yang (hanya) menghendaki kehidupan dunia dan per-hiasannya niscaya Aku berikan mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna. Dan mereka di dunia ini tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”
Sepanjang hidupnya Bung Karno menyerahkan jiwa raga sepenuhnya untuk perjuangan bangsa. Dipenjarakan oleh pemerintah kolonial, difitnah dan dianiaya bahkan oleh bangsanya sendiri. Semua itu demi suatu cita-cita yang luhur terwujudnya bangsa yang bermartabat, adil dan makmur. Ia, seperti halnya Nabi Musa, belum mencapai “negeri yang dijanjikan” itu; yakni, suatu masyarakat yang adil dan makmur. Bagaimana pun ia telah memberikan segala yang terbaik bagi bangsanya.
Hanya dalam waktu singkat tahun 1959-1965 beliau dengan “Ekonomi Terpimpin” mewariskan kelestarian bumi dan lautan yang terjaga kekayaannya, infrastruktur dan suprastruktur pembangunan semesta seperti proyek Jatiluhur, Karangkates, pabrik pupuk Sriwijaya, dan hutang-hutang luar-negeri bilateral yang kecil jumlahnya yang tidak akan menyebabkan ketergantungan. Angkatan Perang kita adalah yang terkuat di Asia Tenggara.
Beliau membangun ekonomi bangsa yang bermartabat kemanusiaan. Ikatan sosial, kerja-sama, saling menghargai, rasa harga diri, keberanian menghadapi lawan, dan ketabahan menderita kesulitan. Yang demikian itulah gotong-royong.
Jarum jam sejarah terus berputar.
Menjalankan politik bebas dan aktif di tengah era perang dingin Barat dan Timur bukanlah jalan yang mudah; bahkan, penuh bahaya dan tatangan. Tetapi itu adalah sacred mission atau tugas suci bila kita ingin ikut melaksanakan ketertiban dunia dan menghapus segala penjajahan. Dan Tuhan menganugerahi sebuah kemenangan besar bagi kita; yaitu, kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu pertiwi.
Tahun 1966 adalah titik balik sejarah bangsa setelah terjadi kemelut berdarah. Tujuh pahlawan revolusi gugur dan ratusan ribu (atau mungkin jutaan) jiwa melayang dalam pembunuhan massal.
Suatu fakta lain yang sulit dibantah sehingga diakui nyaris oleh semua pihak adalah, bahwa pasca peristiwa G30S 1965, arah ekonomi-politik negeri ini berubah. Garis anti imperialisme (neokolim) dibuang begitu saja, diganti dengan bukaan tangan serta rangkulan kepada modal-modal asing, terutama Barat dan Jepang. Pemerintahan Soekarno dengan dukungan rakyat Indonesia secara sengit melawan kembalinya kekuasaan kolonial dalam bentuk yang baru. Posisi ini berkonsekuensi pada sikap permusuhan kapital internasional yang direpresentasikan oleh negara Amerika Serikat dan Inggris terhadap pemerintahan Soekarno dan PKI. Artinya, bila dihubungkan dengan kekalahan Soekarno dan PKI, 1 Oktober 1965, selain sebagai titik awal kemenangan kediktatoran militer, juga menjadi titik awal kemenangan modal asing atas kedaulatan bangsa Indonesia.
Perjalanan bangsa kita ke depan masih panjang. Diperlukan kearifan yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk dalam kelestarian; dan, bukan sekedar yang menguntungkan dan merugikan untuk sesaat.
Jangan Sekali-kali meninggalkan sejarah.

0 komentar:

Posting Komentar